Jumat, 05 Juni 2015

opini saya : sebuah renungan tentang SEPAKBOLA INDONESIA

Sore itu saya menyaksikan acara reality show, dengan bintang tamu Cristian Gonzales dan istrinya Eva Gonzales. Nama Gonzales sendiri memang sudah tidak asing lagi ditelinga karena Gonzales adalah nama pemain sepakbola yang pernah membela timnas indonesia. Pada acara itu ia menceritakan tentang kehidupannya pasca dibekukanya PSSI oleh FIFA. dimana ia hanya bisa mengasuh anak-anaknya dan penghasilan yang ia dapat pun hanya 25%, yang berbeda drastis saat dia bermain bola bahkan kabarnya ia menjual apartement nya untuk kehidupannya. Gonzales bukan satu-satunya pemain yang menjadi korban pertentangan antara PSSI dan Menpora melainkan ada banyak korban lainnya terutama pelaku dalam sepakbola jika sepakbola mati. Pembekuan PPSI ini berawal dari rencana PSSI untuk menggelar ISL 2015 pada pertengahan Februari 2015. Namun, Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) merekomendasikan agar PSSI menunda kick off ISL. Karena ada sejumlah klub yang tidak memenuhi syarat administrasi. Akhirnya PSSI sepakat untuk menunda kick off . Dan diputuskan liga sepak bola terbesar di Indonesia itu akan digelar 4 April 2015. Namun, kisruh tak selesai sampai di situ. BOPI masih tetap merestui liga berjalan, asalkan Arema dan Persebaya tak diikutsertakan. Namun, PSSI bergeming. Mereka tetap menggelar kompetisi pada 4 April dengan mengikutsertakan Arema dan Persebaya. BOPI pun kemudian melayangkan surat teguran dan meminta agar liga dihentikan. 'Kisruh' ini pun sempat membuat Liga Indonesia (QNB League) dihentikan sementara. Liga akan dimulai lagi setelah Kongres PSSI digelar. Namun, sebelum PSSI selesai menggelar kongres, Menpora mengeluarkan surat keputusan PSSI. Sampai akhirnya surat keputusan dari FIFA pun dikeluarkan agar PSSI dibekukan. Dengan demikian indonesia dilarang menggelar kompetisi baik didalam maupun diluar negeri. Dalam hal ini tentunya kita menginginkan yang terbaik untuk sepakbola Indonesia namun sangat disayangkan bahwa dalam kasus ini, kepentingan untuk bersama seakan hilang demi kepentingan pribadi. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarahnya, maka apabila kita berkaca dengan masa lalu tentunya kita pantaslah malu. Seharusnya kita mampu belajar dari Seorang Soeratin yaitu pendiri pertama perserikatan sepakbola indonesia. dengan penuh kegigihan, ia mampu mempersatukan sepakbola indonesia. Melalui sepakbola inilah ia menyadarkan jiwa nasionalisme di tengah penjajahan Karena sepakbola merupakan saluran perjuangan bangsa. Dalam kongres pertama di Societit Hadiprojo, Yogyakarta, yang diikuti tujuh pengurus klub pribumi, di antaranya VIJ Jakarta (Voetbalbond Indonesche Jakarta), BIVB Bandung (Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond), IVBM (Indonesche Voetbalbond Magelang), MVB (Makassar Voetbal Bond), SIVB (Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond), VVB (Vorstenlandsche Voetbal Bond), dan PSIM (Yogyakarta), Soeratin ditunjuk sebagai Ketua Umum pertama PSSI. Seiring perjalanannya, ia pun terus dipilih menjadi ketua umum selama 11 kali berturut-turut hingga periode 1940. Perjuangan Soeratin tidak hanya itu , Kegiatan mengurusi PSSI yang cukup sibuk dengan digulirkannya beberapa kompetisi rutin sejak 1931, membuat Soeratin dihadapkan pada pilihan yang sulit dimana ia harus memilih antara pekerjaan nya sebagai ketua organisasi sepakbola atau memilih kerja pada perusahaan Belanda. Hingga akhirnya ia jatuh pada pilihan nya yaitu mengurus sepakbola Indonesia. Meninggalkan pekerjaan tidak hanya membuat Soeratin kehilangan asupan finansial bagi diri dan keluarganya, tetapi juga akan dapat berimbas pada pasokan dana bagi kegiatan PSSI berkurang. Namun, karena kecintaan pada sepak bola itulah Soeratin, yang memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, akhirnya bertaruh untuk memutuskan keluar dari perusahaan tersebut dan lebih memilih mendirikan usaha sederhana sendiri Padahal gajinya di perusahaan itu sangat besar . Di titik inilah, pertaruhan antara nasionalisme dan materi terjadi dalam kehidupan Soeratin. Hanya satu yang jadi tujuan bagi Soeratin, yakni agar Nusantara melalui sepak bola tak menjadi pecundang di antara sejumlah negara besar di dunia. sebagai generasi muda yang menginginkan untuk kemajuan sepakbola tentunya kita harus belajar dari Soeratin yang rela menghilangkan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama. Maka dari itu saya berharap agar PSSI dan MENPORA tidak hanya melihat dari satu sudut pandang melainkan melihat dari berbagai aspek. Karena yang rugi bukan nya mereka yang mempunyai kepentingan dengan iming-iming untuk kemajuan tapi pelaku dalam sepakbola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar